Pasca Amuk Massa Agustus, Pemerintah Harus Ubah Arah Pembangunan

Ilustrasi : Firdaus Cahyadi, Founder Indonesian Climate Justice Literacy, sumber, Google Chrome

Jakarta | Halo Mandalika – Amuk massa di akhir Agustus 2025 adalah sinyal bagi Pemerintah Indonesia bahwa ada yang salah dalam model pembangunan yang digunakan,” ujar Firdaus Cahyadi, Founder Indonesian Climate Justice Literacy, Model pembangunan yang digunakan selama ini hanya menyisakan kemiskinan, ketimpangan sosial dan kerusakan alam.

Seperti telah diberitakan di berbagai media massa bahwa di akhir Agustus 2025, amuk massa terjadi di beberapa kota di Indonesia. Amuk massa dipicu oleh seorang pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas oleh mobil Polisi saat terjadi demonstrasi memprotes kenaikan berbagai tunjangan yang diterima anggota DPR di tengah kesulitan ekonomi masyarakat.

Model pembangunan ekstraktif yang bertumpu pada pengurasan sumberdaya alam telah terbukti bukan hanya merusak alam namun juga menciptakan kemiskinan baru dan juga terakumulasinya kekayaan di tangan segelintir orang atau sering disebut kaum oligarki," jelas Firdaus Cahyadi, Ketimpangan sosial adalah sebuah keniscayaan dari model pembangunan ekstraktif.

Ketimpangan sosial yang terlalu dalam ini, lanjut Firdaus Cahyadi, menyebabkan ketidakadilan sosial. “Celakanya, pemerintah dan sebagian anggota DPR justru mempertontonkan keadilan sosial ini secara nyaris telanjang,” tegasnya, Pertunjukan ketidakadilan sosial itu yang membuat masyarakat marah besar.

Pasca amuk massa di akhir Agustus itu, tegas Firdaus Cahyadi, pemerintah harus mengubah arah pembangunan. “Model pembangunan ekstraktif, yang menjadi sumber ketidakadilan sosial, harus mulai ditinggalkan,” katanya

Pemerintah harus mulai menggunakan model pembangunan restorative kerakyatan.

Model pembangunan restorative kerakyatan ini, lanjut Firdaus Cahyadi, selain bertumpu pada keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem alam juga melibatkan masyarakat. Sehingga sejak dari awal perencanaan hingga implementasi masyarakat dilibatkan,"katanya. 

Dengan keterlibatan masyarakat sejak dari awal perencanaan akan menumbuhkan rasa memiliki sehingga amuk massa dapat dicegah.

Namun alih-alih mengubah arah pembangunan pasca amuk massa di akhir Agustus lalu, lanjut Firdaus Cahyadi, pemerintah justru meresponnya dengan memberikan label negative terhadap kemarahan masyarakat itu seraya menarik militer untuk memasuki ruang-ruang sipil. Respon pemerintah mirip pemerintahan di era rejim otoritarian Orde Baru dalam menghadapi protes masyarakat,” jelasnya, 

Dalam jangka pendek, mungkin dapat meredam kemarahan masyarakat namun selama ketidakadilan sosial akibat model pembangunan ekstraktif terus dijalankan, kemarahan masyarakat akan kembali muncul di masa depan.

Publik, tegas Firdaus Cahyadi, harus terus bersuara agar pemerintah tidak menjadikan Indonesia sebagai nagara fasis yang bertumpu pada kekuatan militer seperti era Orde Baru. “Begitu Indonesia menjadi negara fasis militeristik, peluang untuk munculnya model pembangunan restorative akan mengecil,” tegasnya, 

Sebaliknya, model ekonomi ekstraktif akan menguat karena akan digunakan untuk membiayai belanja senjata guna melindungi segelintir elite yang diuntungkan dari model pembangunan yang diterapkan itu dari protes masyarakat.”(HM-1)